by: Nashrulloh ZM Zarkasyi
Pagi buta, sebelum seorang pun di pondok menggantikan pakaian sarungnya dengan celana panjang dan kemeja, mereka sudah mempersiapkan diri segala perlengkapan kantor Kulliyyatu-l- Mu’allimin al-Islamiyah (KMI): mengecek absensi siswa, mengontrol suasana kelas, atau alat-alat kelengkapan direktur lainnya. Saat matahari telah menampakkan diri, kala teman-teman guru lain telah berdasi dan menyerbu dapur untuk sarapan, sebelum masuk kelas, mereka pun telah berdiri di beberapa tempat, di sudut-sudut pondok sambil mengawasi santri yang tengah menuju kelas masing-masing
Pukul tujuh tepat, pelajaran pun dimulai. Namun, para pendekar itu masih saja bekerja. Kali ini, selain yang masuk kelas untuk mengajar, ada yang mempersiapkan rapat-rapat bagian di bawah struktur kelembagaan KMI, atau mempersiapkan map-map untuk guru senior yang akan melakukan supervisi pelajaran di kelas-kelas dan untuk beberapa pelajaran yang telah ditentukan. Yang lain lagi dan mengkoordinasi guru-guru yunior mengecek ruang-ruang kelas yang kosong dan asrama santri. Pada kali lain, pekerjaannya juga mengecek kebersihan kelas-kelas. Rutinitas itu dilakukan dengan sangat cermat dan juga dengan keikhlasan yang tinggi. Mereka menikmati tugasnya.
Yang tak kalah susah, dalam waktu super singkat, di masa liburan baik pertengahan maupun akhir tahun, mereka harus menyusun jadwal mengajar guru untuk semester berikutnya. Bayangkan, lebih dari 400 orang guru dan 90-an kelas harus diatur jadwal pelajaran dan pengajarnya. Sungguh, bukan pekerjaan ringan. Belum lagi, jumlah guru seringkali berubah-ubah secara mendadak, atau alokasi waktu setiap semester pun tidak sama. Kecuali itu, ada guru yang minta supaya diberi jatah mengajar mata pelajaran tertentu untuk tujuan tertentu, untuk hari tertentu pula. Wah, sangat melelahkan. Seiring dengan penyusunan jadwal adalah juga pembagian tugas guru. Maklum, tugas guru di pondok sangat banyak. Secara garis besar, mereka adalah guru, mahasiswa, dan sekaligus pembantu pimpinan pondok. Sebagian di antara guru itu ada yang diamanahi menjadi wali kelas (Penentu wali kelas memang direktur, namun bahan baku tentang rekam jejak calon wali kelas adalah tanggung jawab staf KMI). Sementara, guru-guru yunior ditugasi menjadi piket kantor, piket asrama, piket kelas, serta piket di sejumlah tempat strategis. Itupun yang mengatur juga para staf KMI. Syukur, mereka yang diatur taat, karena melihat yang mengatur pun tanpa pamrih. Tugas-tugas itu, dalam seminggu sekali, akan dievaluasi bersama sejumlah guru senior, sebagai bekal memajukan langkah KMI ke depan.
Pada masa ujian pertengahan tahun dan akhir tahun, pekerjaan para staf KMI itu tidak surut, namun justru ada pada puncak kesibukannya. Meskipun telah ditunjuk panitia ujian oleh Pimpinan Pondok dan Direktur KMI, kesibukan mereka tetap tinggi, yakni pendampingan. Mustahil panitia ujian itu akan bekerja sendiri. Setelah tugasnya berakhir, tak urung, para staf itu pula yang akan menyelesaikan tugas berikutnya. Mereka harus mempersiapkan data-data prestasi siswa untuk disampaikan kepada Direktur KMI sebagai bekal mengambil kebijakan, ke pondok cabang mana saja para siswa akan dipindah setelah pertengahan tahun itu atau setelah kenaikan kelas.
Libur pun tiba. Namun, para direktur itu tak beranjak dari pondok. Dalam masa libur panjang bulan Ramadhan itu, justru pekerjaan mereka menggunung. Setelah para panitia ujian merampungkan tugasnya, bersama para wali kelas, mereka, para direktur itu akan mengolah data untuk diajukan kepada Direktur KMI dan Pimpinan Pondok, untuk mengambil kebijakan; mana siswa yang naik dan tetap di Gontor dan mana siswa yang tidak naik dan harus pindah ke pondok cabang. Pekerjaan ini membutuhkan kecermatan, ketelitian, dan ketelatenan yang tinggi. Tak ketinggalan, kesungguhan dan keikhlasan juga.
Itulah real Pricipal. Yang senyatanya direktur di KMI. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui dan sangat hapal dan rinci akan tugas rutinnya; bekerja tanpa komando, melainkan kesadaran dan keikhlasan yang tinggi. Mereka adalah nyawa sesungguhnya dari KMI. Kematian atau pergantian direktur bukan masalah bagi KMI, karena sistem telah berjalan dengan baik, dan para staf itu pun mampu mengantisipasi keadaan dengan baik pula. Sebaliknya, KMI akan timpang alaang kepalang jika tanpa para staf itu, meskipun ada seorang direktur.
Pertanyaan pun muncul, apa fasilitas yang mereka dapatkan? Kesejahteraan atau imbalan maksud jelasnya? Jelas tidak ada. Untuk ini, K.H. Imam Zarkasyi, setiap kali berpidato setelah selesainya ujian (awal dan akhir tahun), selalu mengajak bersyukur dan berterima kasih. Bersyukur karena ujian telah selesai, dan para siswa KMI telah bersiap diri dengan belajar, sehingga ilmunya bertambah. Berterima kasih yang ditujukan kepada guru-guru panitia karena para guru itu telah bekerja keras melayani para santri, membuat soal, mencetak, dan membaginya, mengawasi ujian, hingga mengoreksi. Sungguh pekerjaan yang sangat melelahkan. Apa bayarannya? Tidak ada. Hanya sepotong kue kecil dan segelas minuman. Itu saja. Kalau benar-benar dihitung dengan uang, berapa mereka harus digaji? Itulah, kita bersyukur dan berterima kasih. Di sini keikhlasan masih bisa dipegang dengan baik, demikian K.H. Imam Zarkasyi mengingatkan.
Ya, ini adalah Pondok Modern Darussalam Gontor, yang meletakkan keikhlasan sebagai nyawa penggerak inisiatif dan aktivitas pondok secara keseluruhan. Kalaupun ada imbalan bagi para staf KMI itu, di antaranya adalah kemudahan dalam menggunakan komputer, bebas membuat minuman teh, kopi, susu, dsb., Jika ada rapat guru, mereka pun akan mendapat bagian makanan kecil yang mereka siapkan sendiri. Bayangkan, atau tepatnya tanyakan, berapa gaji orang seperti itu jika di luar? Subhanallah. Yang ada, di pondok luar Gontor, jika guru ikut rapat, meskipun tidak ikut berbicara pun sudah mendapat honor Rp 20000. Jika dia mampu menyusun program pembelajaran yang bermanfaat untuk pondok tersebut, tentu, honornya akan lebih besar. Akhirnya, yang terjadi, guru-guru akan berlomba membuat program agar disetujui, dijalankan, dan (tentu saja) menghasilkan uang. Tujuannya pun bukan untuk menghidupkan pondok, melainkan mencari hidup dari pondok.
Para staf itu boleh dikata sama sekali tidak digaji. Keikhlasannya yang tinggi menimbulkan kecintaannya pada tugas. Dalam benak mereka, suara lonceng, teriakan murid yang tengah menirukan guru, berlalu-lalangnya siswa ketika berangkat ke kelas, waktu istirahat, atau saat pulang usai pelajaran merupakan gambar hidup yang sangat nikmat untuk dilihat, setiap hari. Mereka sudah ketularan perasaan guru, yang tak pernah bosan melihat muridnya. Kalau sudah begitu, gaji, sama sekali, bukan tujuan. Kenikmatan menjadi guru itu sudah merupakan imbalan bagi mereka. Belum lagi, ilmu-ilmu yang otomatis didapat karena menjalankan tugas itu: ilmu mendidik, ilmu mengajar, ilmu mengatur sekolah, ilmu menyusun jadwal, dsb., sungguh menjadi imbalan yang sangat berharga. Betapa tidak, para staf yang juga mahasiswa itu, tidak semuanya kuliah di fakultas Tarbiyah, yang memang mempelajari seluk beluk pendidikan dan pengajaran, melainkan mahasiswa Fakultas Usuluddin dan Fakultas Syariâh. Jadi, setelah menyelesaikan pengabdiannya, para staf KMI yang sarjana fakultas Syariâh atau Usuluddin itu, kelak, akan menjadi ahli pendidikan secara otomatis. Pengetahuannya tentang pendidikan melebihi sarjana pendidikan di luar, karena telah mengalami praktik secara langsung, dan bertahun-tahun.
Itulah millieu Gontor, etos kerja yang telah puluhan tahun diterapkan dan diajarkan para pendirinya sejak awal mula pondok berdiri. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun menjadi tergerak dinamis, aktif, berinisiatif, dan bertanggung jawab. Semua itu secara otomatis akan menimbulkan kesadaran yang tinggi, kesadaran mengemban tanggung jawab masing-masing, dengan pengabdian total; hal yang tidak mudah ditiru dari Gontor. Apalagi, jika orang yang akan meniru tidak pernah sekolah di KMI atau belum tamat KMI. Banyak hal yang tidak mungkin dipahami, terutama ruh-ruh dan filosofi yang mampu menggerakkan kesadaran individu-individunya.
Karena itu, lembaga pendidikan yang sebelumnya telah memiliki sistem yang berbeda dengan sistem Gontor, kemudian akan diubah menjadi sistem Gontor, boleh dikata, mustahil. Mengubah kebiasaan bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika kebiasaan itu terkait dengan pola pikir, gaya hidup, dan keyakinan. Terlebih lagi, jika pengambil kebijakan utama bukan alumni atau alumni yang tidak tamat, atau alumni yang tidak pernah merasakan menjadi guru di Gontor. Bagaimana mungkin memberi contoh, jika menjadi contoh saja belum mampu?
Maka, sebaiknya jika akan meniru secara kaaffah, alumni yang tamat KMI merintis pondok sendiri dengan sistem yang diyakini, agar menjalankannya enak, mudah, dan semeleh.
Buyut Makkah, Nopember 2009